Tinggalkan komentar

‘Berita’ syahdu

Berita ‘Liputan Malam’ SCTV, 8 Maret, 2009, tentang pemakaman jenazah para korban jatuhnya Fokker 28 TNI AU di Husen Sastranegara Bandung. Kalimat penutup berita itu berbunyi sebagai berikut:

“Kepada takdir kita berpasrah, kepada tuhan kita berdoa. Segala sesuatu yang ada di dunia hanyalah titipan dari sang Maha Pencipta, dan akan diambil kembali oleh-Nya, bila waktunya telah tiba.”

Dengan sama sekali tak mengurangi rasa simpati dan keprihatinan kepada para korban dan keluarga, penuturan pembuat dan pembaca berita ini sudah keterlaluan kaprahnya. Pertama, ini bukan kalimat pemberitaan, dan hanya layak diucapkan oleh pemimpin doa.

Kedua, si pembuat berita mungkin ingin penuturannya terdengar syahdu. Namun sebenarnya membodohkan dan mengaburkan peristiwa yang diberitakannya. Kenapa dia yakin bahwa itu takdir? Dan kenapa dia mengira bahwa sikap semua pemirsa terhadap takdir itu sama, yaitu ‘menyerah’? Pede betul dia menuliskan kata ‘kita’.

Bila itu keyakinan si pembuat berita, kenapa ia tak simpan itu untuk dirinya sendiri saja? Dan tidak disajikan untuk pemirsa?

Bila seseorang tahu bahwa ada yang tak beres pada mobilnya, tapi dia kendarai juga mobil itu dan ternyata kemudian mogok atau nabrak, apakah itu takdir? Apakah itu tak bisa dihindarkan?

Akan berkepanjangan bila orang berdebat soal ini. Dan saya tak ingin memasuki perdebatan itu. Tapi satu hal sudah jelas: jurnalisme dibuat bukan untuk menghakimi dan mendakwahi, apalagi mengaburkan fakta.

Mengatakan bahwa kecelakaan itu takdir dan kita harus menyerah adalah mengaburkan fakta dan membalikkan fungsi jurnalisme dari ‘memberitakan’ kenyataan menjadi mengaburkan kenyataan; dari memberitahu orang menjadi membodohi orang. Ini tergolong dosa profesi yang sangat mendasar. Sebab implikasinya berbahaya:

Pertama, semua pihak lantas menganggap kecelakaan buatan manusia ini takdir, dan karena itu tak perlu ada hukuman bagi yang melakukan kelalaian; tak perlu ada proses hukum. Pihak pimpinan TNI AU tak merasa perlu bertanggung jawab karena ini takdir. Lalu keluarga korban pasrah kepada takdir ini dan selesailah persoalan. Bencana ini tuhan yang buat kok dank arena itu manusia tidak salah.

Bila keesokan harinya pesawat latih lain jatuh dan jumlah korban lebih banyak, bersikaplah kembali seperti di atas. Terus, sampai kapan kita mau jadi manusia bebal seperti ini?

Tinggalkan komentar