Tinggalkan komentar

Agama tanpa ruh

AGAMA, pada banyak hal, bisa dipakai untuk menyalurkan sifat buruk lalu memberinya cap ‘baik’. Karena itulah banyak orang beragama.

Nafsu memburu harta dibajui jadi ‘semangat mencari rizki’. Bahkan ada yang agak lebai: “Mencari rizki untuk anak istri juga jihad lho.”

Kita mengesahkan sifat materilstik kita dengan agama. Alam bawah sadar para pendoa meminta kepada Tuhan kekayaan materi – tak lain dan tak bukan. Ketika seorang hamba berucap: “Limpahkan kepada kami rizki,” di kepalanya tergambar mobil seri terbaru, rumah hasil renovasi, dan saldo rekening yang aman untuk sepuluh tahun ke depan.

Atau ungkapan ‘limpahkanlah kepada kami kabahagiaan’, dan yang ada di photographic memory otak adalah bisa pelesir kemana suka, liburan sebulan penuh di Pulau Seribu.

Bersikap agamis menjadi sama dan sebangun dengan bersikap meterialistis.

Salah satu bunyi doa shalat duha: “fa in kaana haraaman, fa thahirhu [kalau itu haram, sucikanlah.].”

Maka ketika menemukan peluang korupsi, langsung terpikir bahwa Allah sedang mengabulkan doaku. Ini haram, tak apa-apa, toh aku sudah minta Allah untuk menyucikannya.

Itulah tafsiran Fiktor, alias Fikiran kotor.

Orang-orang pergi ke mesjid dan berdoa dengan pikiran matre, dilengkapi dengan sikap egois.

Nasihat yang sering kita terima: “Perbanyaklah amal saleh, untuk bekal di akhirat.” Bekal siapa? Ya bekal saya. Jadi, sekarang aku berbuat baik, membantumu, menolongmu, agar aku di akhirat nanti aman dan nyaman. Fair bukan?

Pikiran dan sikap keagamaan tidak memuliakan ketulusan untuk ‘kini dan di sini’; untuk sikap tanpa pamrih. Sikap keagamaan kita tidak mendorong keikhlasan total.

Agar agama tak jadi cap untuk sikap egois, mungkin perlu mengabaikan akhirat dan surga. Menolong yang menolong. Karena kita cinta sesama kita menolong dan membantu. Soal akhirat kita pandang sebagai akibat.

Kalau kita perlu memperbanyak amal saleh di dunia, karena memang dunia membutuhkan amal saleh kita: banyak orang malang; banyak orang menderita; dan anda dalam posisi beruntung untuk bisa membantu. Bantulah. Bukan terutama untuk bekal di akhirat.

Sikap keberagamaan sekarang harus di-upgrade. Sudah terlalu usang. Lingkungan di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya Muslim tak terurus, rusak dan kotor, “karena dunia ini sementara. Hidup yang sebenarnya nanti di akhirat.”

Karena itu para pejalan Muslim tak peduli kebersihan. Di stasiun kereta orang buang sampah di mana saja. Saya sering melihat perempuan bebusana Muslim melempar kotak minuman, kantong kresek, ke rel kereta. Toh stasiun ini bukan tujuanku. 10 menit lagi kutinggalkan. Mereka tak berpikir kenyamanan untuk orang lain.

Di kereta atau kendaraan lain, kelakuan pun sama, buang bungkus makanan ke lantai kendaraan. Toh kendaraan ini bukan tujuan. Atau lempar ke luar jendela. Toh itu jalan. Bukan tujuan.

Dunia ini bukan tujuan. Nanti kiamat. Ngapain repot-repot melestarikan lingkungan? Bahkan ada faham keagamaan yang sedemikian membenci dunia.

Kalau sudah begini, agama jadi lembaga kejahatan. Maksud saya, agama hanya berfungsi membajui sifat egois dan anarkis. Semua untuk kepentingan diri sendiri.

Memang banyak juga rumah-rumah orang Islam yang bersih dan nyaman. Alhamdulillah, itu hasil bersih-bersih dan sampahnya dibuang ke got atau sungai. Biarlah lingkungan di luar kotor, sungai mampet, orang-orang kena penyakit, asal rumah saya bersih. Sebab ‘kebersihan sebagian dari iman’.

Mencari duit dan pergi ke mesjid untuk berdoa meminta rezeki didorong oleh energi yang sama. Energi yang mendorong amal saleh dan menjegal orang adalah energi yang sama: ego.

Islam bukan agama. Tapi kebanyakan para penganutnya menurunkan derajat ad-dien itu jadi agama semata. Jadi alat legalisir kelakuan. Dengan agama, nafsu libido tersalurkan lewat pernikahan. Dan yang libidonya berlebihan, lewat poligami.

Islam adalah jalan hidup. Sumbernya dari kesadaran, kewaspadaan terhadap diri sendiri. Karena itulah dalam Islam segala sesuatu harus dilakukan karena Allah: makan-minum, bekerja, berhubungan seks – bukan karena dorongan ego [nafs]. Meskipun tampilan luarnya sama, tapi substansi berbeda.

Padahal, Tuhan menurunkan ad-dhien dan agama agar manusia bisa hidup bermoral di atas muka bumi.