1 Komentar

Wartawan cengeng

Wartawan berdemonstrasi untuk menentang atau mendukung isu-isu tertentu pastilah salah kaprah. Kita ingat wartawan berdemonstrasi menentang premanisme, menentang UU Pornografi, menentang pengenaan pajak pembuatan film, dan terakhir, menentang tindak kekerasan oleh anak SMA!

Lalu ketika berdemonstrasi itu, sesama wartawan meliput; wartawan rame-rame jadi narasumber; tampil di koran dan teve’ jadilah berita onani alias memberitakan diri sendiri.

Wartawan yang berdemosntrasi sudah jelas tidak netral dalam isu yang diusungnya, karena mereka sudah jelas menunjukkan diri sebagai penentang atau pendukung. Padahal netralitas adalah syarat mutlak dalam jurnalistik.

Lagi pula, wartawan yang berdemonstrasi menunjukkan inferioritas, kecengengan, ingin diperhatikan lebih dari yang lain. Secara tak sadar, mereka merendahkan diri mereka sendiri dan mempertontonkan diri bahwa mereka lemah.

‘Aksi damai’ sejumlah wartawan kemarin di depan SMA 6 Jakarta sangat memperlihatkan inferioritas dan kenaifan yang agak kelewatan. Mestinya, sebagai pihak yang lebih dewasa, para wartawan itu datang ke SMA 6 sebagai mitra kerja, atau sebagai pihak yang peduli, atau sebagai pemberi masukan kepada sekolah yang siswa-siswanya terlibat tawuran.

Kalau saya yang jadi korban pemukulan itu, saya akan datang sendirian atau diantar teman ke kantor polisi; melaporkan kejadian yang saya alami; dan setelah itu, sebagai warga yang menghormat wewenang dan hukum, saya serahkan dan saya percayakan proses selanjutnya kepada polisi.

Kalau ingin lebih positif, saya pun akan memberitahu kepala sekolah yang bersangkutan bahwa ada perilaku beberapa siswanya yang sudah memprihatinkan. Mungkin perlu perhatian khusus atau tindakan disiplin.

Ini tidak. Mereka datang sebagai sekelompok massa yang ‘menuntut pertanggungjawaban’ pihak sekolah. Bahkan, sesudah mendapat penjelasan dari kepala sekolah pun, mereka mendesak agar siswa yang melakukan pemukulan itu dihadapkan kepada mereka. Ini sudah sikap arogan. Semua tau, jawaban paling cocok terhadap arogansi adalah arogansi yang lebih tinggi!

Bagi siswa-siswa SMA yang secara tahapan psikologis kebanggaan dirinya sedang tumbuh, melihat orang berkerumun di depan sekolah mereka sambil berorasi dan memamerkan plakat-plakat pengecaman adalah tindakan ‘nantang’ yang tentu saja pantang untuk tidak dijawab secara laki-laki. Terjadilah bentrokan yang memalukan itu.

Hampir semua demonstrasi di Indonesia mengklaim sebagai ‘aksi damai’, tapi hampir semua isinya pengecaman, provokasi, hujatan. Tidak. Begitu suatu demonstrasi digelar, justru langkah ke ‘peperangan’ sudah dimulai.

Suatu tindakan bersama bisa disebut aksi damai bila misalnya, aksi itu dilakukan dalam bentuk boikot terhadap produk barang dan jasa tertentu. Atau membagi-bagikan bunga atau plakat. Tapi kalau sudah menuntut dan mendesak, itu sudah provokasi.

Bila seorang sopir metromini dipukuli preman sampai bonyok-bonyok dan berlumuran darah, itu kejadian lumrah. Kalau pun sempat diliput wartawan, mungkin hanya cocok jadi spotter – berita pendek satu kolom di halaman belakang. Atau kalau di televisi, satu dari rangkain peristiwa kriminal hari ini.

Tapi bila yang dipukuli itu seorang wartawan, itu berita besar. Semua media akan memberitakannya sebagai solidaritas. Rekan-rekan wartawan akan rame-rame mendesak Kapolda bahkan Kapolri untuk ‘konfirmasi’ tapi isinya mendesak agar si pemukul ditindak tegas.

Dan Kapolri pun akan bilang: “Kami akan menindak tegas pelaku kekerasan terhadap wartawan.”

Itulah istimewanya makhluk bernama wartawan.

Karena itu, para wartawan cenderung merasa istimewa. “Hak publik atas informasi,” adalah senjata. Perasaan istimewa itu serting terungkap dalam perilaku kerja: menodongkan perekam sampai ke congor nara sumber [khas wartawan Indonesia]; menempelkan kamera ke  pundak si terwawancara. Tentu, dengan pertanyaan-pertanyaan khas bergaya menginterogasi, mendesak, memaksa – sering kali konyol pula.

Bila si nara sumber sudah merasa terlalu jauh dilanggar hak pribadinya, lalu menepis kamera yang nempel di jidat, seperti yang dilakukan Ariel Peterpen dulu, si wartawan akan menghardik: “Hei! Jangan seenaknya lu. Nih kamera gua rusak!”

Meskipun kamera itu tidak rusak, si wartawan akan melaporkan si narasumber kepada polisi dengan dakwaan ‘pengrusakan barang milik orang lain dan tindakan tidak menyenangkan.”

Demikian pula reaksi wartawan terhadap Ahmad Dani yang mengambil kamera si wartawan yang masuk ke rumahnya tanpa izin ‘shoot’. Seperti selalu, si wartawan melapor kepada polisi sebagai korban.

Anehnya, polisi tak pernah mempersoalkan hak pribadi narasumber yang dilanggar dan sering dikeluhkan. Padahal tindakan itu pun pelanggaran hukum.

Wartawan cenderung merasa istimewa.

Baiklah kita aminkan saja bahwa wartawan itu ‘warga negara khusus’. Tapi sayangnya, dalam sejumlah peristiwa, wartawan ‘era reformasi’ sering tak menyadari kehormatan itu, dan lebih memilih daya paksa fisik untuk meneguhkan kebanggaannya. Padahal, sebenarnya wartawan adalah pekerja intelektual.

1 comments on “Wartawan cengeng

Tinggalkan komentar